UU
RI No. 11 tahun 2008 Pasal 1, yang di maksud Informasi Elektronik adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah di olah yang
memiliki arti atau dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang di lakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan atau media elektronik lainnya.
Kegiatan
perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce,
termasuk di dalamnya perdagangan / bisnis online, saat ini memang semakin
marak, khususnya disebabkan karena adanya kemudahan untuk memulai bisnis
(start-up), kecilnya modal, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat
diminimalisir, dengan potensi profit yang besar. Padahal tidak sedikit resiko
yang dapat dialami oleh para pelaku bisnis online. Secara filosofis, Pasal 3 UU
ITE mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus di dasarkan
pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral
teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang
dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan
dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal
ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli online harus mematuhi aturan hukum
yang berlaku.
Secara
umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai
informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen
internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law
on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku
bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum
dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa
materi yang diatur, antara lain:
1. pengakuan
informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 &
Pasal 6 UU ITE).
2. tanda
tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE).
3. penyelenggaraan
sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU
ITE).
4. penyelenggaraan
sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE).
Beberapa
materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara
lain:
1.
konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan,
perjudian, penghinaan / pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal
27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE).
2.
akses ilegal (Pasal 30).
3.
intersepsi ilegal (Pasal 31).
4.
gangguan terhadap data (data interference,
Pasal 32 UU ITE).
5.
gangguan terhadap sistem (system interference,
Pasal 33 UU ITE).
6.
penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse
of device, Pasal 34 UU ITE).
Secara
garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
- Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
- Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
- UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
- Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
- Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
- Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan).
- Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan).
- Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti).
- Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking).
- Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi).
- Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia).
- Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?)).
- Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)).
Ruang Lingkup Undang-Undang ITE adalah
sebagai berikut :
·
Ruang Lingkup Undang-Undang ITE ini secara tegas
dalam pandangan hukum mengatur segala perlindungan hukum yang terjadi akibat
memanfaatkan internet sebagai media, baik memanfaatkan informasi maupun
melakukan berbagai macam transaksi.
·
Dampak dari pelanggaran atau perbuatan melawan
hukum terhadap Undang-Undang ITE ini diatur pula segala bentuk ancaman hukum.
Dengan demikian, pelaku bisnis yang memanfaatkan media internet maupun
masyarakat luas yang memanfaatkan internet mendapat kepastian hukum. Kepastian
hukum ini, di antaranya dengan tanda tangan digital dan berbagai macam bukti
elektronik sebagai alat bukti yang bisa diajukan di depan pengadilan.
·
Dengan adanya kepastian hukum diharapkan dapat
menghindari segala perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan transaksi
elektronik. Transaksi elektronik inilah yang menyebabkan konsumen baik
perorangan maupun lembaga, dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum
sehingga dapat dijerat dengan sanksi hukum.
·
Diberlakukannya Undang-Undang ITE ini oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan hasil penyesuaian sebuah tim
atas nama pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Ahmad M. Ramli, SH.
Sumber :
http://mildsend.wordpress.com/2013/05/07/undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik/