Sabtu, 10 Mei 2014

Undang-Undang RI tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


UU RI No. 11 tahun 2008 Pasal 1, yang di maksud Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah di olah yang memiliki arti atau dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang di lakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan atau media elektronik lainnya.

Kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce, termasuk di dalamnya perdagangan / bisnis online, saat ini memang semakin marak, khususnya disebabkan karena adanya kemudahan untuk memulai bisnis (start-up), kecilnya modal, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat diminimalisir, dengan potensi profit yang besar. Padahal tidak sedikit resiko yang dapat dialami oleh para pelaku bisnis online. Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus di dasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli online harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1.      pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE).
2.      tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE).
3.      penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE).
4.      penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE).

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1.      konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan / pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE).
2.      akses ilegal (Pasal 30).
3.      intersepsi ilegal (Pasal 31).
4.      gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE).
5.      gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE).
6.      penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).

Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
  • Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
  • Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
  • UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
  • Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
  • Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
  • Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan).
  • Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan).
  • Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti).
  • Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking).
  • Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi).
  • Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia).
  • Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?)).
  • Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)).

Ruang Lingkup Undang-Undang ITE adalah sebagai berikut :
·         Ruang Lingkup Undang-Undang ITE ini secara tegas dalam pandangan hukum mengatur segala perlindungan hukum yang terjadi akibat memanfaatkan internet sebagai media, baik memanfaatkan informasi maupun melakukan berbagai macam transaksi.
·         Dampak dari pelanggaran atau perbuatan melawan hukum terhadap Undang-Undang ITE ini diatur pula segala bentuk ancaman hukum. Dengan demikian, pelaku bisnis yang memanfaatkan media internet maupun masyarakat luas yang memanfaatkan internet mendapat kepastian hukum. Kepastian hukum ini, di antaranya dengan tanda tangan digital dan berbagai macam bukti elektronik sebagai alat bukti yang bisa diajukan di depan pengadilan.
·         Dengan adanya kepastian hukum diharapkan dapat menghindari segala perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Transaksi elektronik inilah yang menyebabkan konsumen baik perorangan maupun lembaga, dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dapat dijerat dengan sanksi hukum.
·         Diberlakukannya Undang-Undang ITE ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan hasil penyesuaian sebuah tim atas nama pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Ahmad M. Ramli, SH.


Sumber :
http://mildsend.wordpress.com/2013/05/07/undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar